Sabtu, 08 Januari 2011

Kerlap Kerlip Perumpung

Lokasi ini tidak jauh dari sekolah kita yaitu disebelas selatan mungkin bagi teman2 lokasi ini sudah tidak asing lagi ditelinga kita
Kawasan Prumpung, Jatinegara, Jakarta Timur. Kawasan yang riuh, macet, dan kusam itu menjadi lain bila di malam hari. Dilingkungi jembatan layang yang melintang di sebelah Timur, lintasan rel kereta api di Utara dan perumahan penduduk di Selatan, kawasan itu terkesan kelam dan kusam. Apalagi sudah umum diketahui bahwa di kawasan itu bila malam tiba berubah menjadi tempat transaksi seks.
Bila menyusuri kawasan Prumpung, akan mudah ditemui para perempuan penjaja cinta duduk atau berdiri di sepanjang jalan menanti pembeli. Kawasan perdagangan cinta tidak resmi ini makin hidup oleh deretan warung-warung tenda yang berjejer sepanjang tepi jalang. Pasar Jatinegara dan stasiun kereta api di dekatnya makin mendukung berlanjutnya kehidupan malam di sana.
Di tengah suasana demikian, bila anda naik kendaraan melintasi Taman Prumpung pada seperempat awal malam, akan terdengar cukup keras suara kendang di tabuh. Ya, sudah sejak dua tahun lalu di taman itu berdiri sebuah panggung kecil berukuran empat kali tiga meter persegi. Panggung rendah, hanya setinggi dada itu, adalah tempat manggung sekelompok penari jaipong bernama Mekar Munggaran.

JAIPONG KERAWANG Ada sekitar 12 penari yang sebagian merangkap pesinden di panggung itu. Para perempuan muda sampai setengah baya menyanyi dan menari penuh semangat. Di depannya dalam bentangan lima meteran ada sebuah arena imajiner tempat para pelanggan ngibing (menari). Di seberangnya berjejer penonton yang duduk merenah (nyaman) di pelataran atau berdiri.
Penontonnya bisa dibilang tak banyak, namun selalu ada dan ramai. Pelataran depan arena bisa penuh sampai ke batas pagar taman, bahkan banyak yang berdiri di jalan di belakang pagar. Jangan ditanya kalau malam Minggu. Luapan penonton memenuhi jalan yang sudah disesaki deretan bis-bis yang parkir seri sepanjang tikungan jalan Jatinegara.
Bila dingin malam telah menyaput daging, para sinden (penyanyi) mulai bernyanyi. Kidung Kembang Penggadung pun mengalun dari mulut Rika dan Jujun. Itu artinya hiburan jaipongan malam itu telah dibuka. Tetabuhan gendang dan suara sinden lewat pengeras suara yang jauh dari sempurna memecah malam. Suara yang dihasilkan lebih penting kerasnya ketimbang jelasnya. Walhasil kidung-kidung para sinden tenggelam dalam keributan suara kendang.
"Kami biasa memulai pertunjukan pukul sembilan malam sampai pukul satu dini hari. Untuk bulan puasa kami memulainya pukul setengah sepuluh," jelas Sarma, wakil pemimpin grup jaipongan Mekar Munggaran ini.
Selanjutnya para penonton, yang cuma iseng atau memang pelanggan tetap pertunjukan itu, mulai menikmati deretan tembang-tembang dan lenggang lenggok para penari. Bagi yang berani dengan percaya diri masuk ke arena, mereka nyawer (membayar) sinden, pemusik, atau memesan tembang favoritnya.
Saweran (bayaran) itu diberikan kepada sinden yang sedang menendangkan lagu. Di depannya telah ada kotak kecil mirip kotak infaq mesjid tempat menyimpan uang. Lembaran lima ratusan dan ribuan pun mengalir ke kotak. Para penggemar memberikan saweran-nya dengan berbagai cara. Terkadang dengan nakal mereka memberikan dengan cara tertentu ke tangan pesinden, dengan memainkan uang di jari-jari tangannya, sehingga tangan pesinden cukup lama berada dalam jabatan tangannya.
Maka mereka pun akan ngibing mengikuti ketukan kendang dalam berbagai gaya. Malam itu, Rabu (30/12), seorang lelaki kurus tua berjubah hitam ala pendekar dengan asyik ngibing dalam gerak pencak silat. Beberapa pemuda lain turut meramaikan arena ngibing dalam gerak yang lain.
Sementara yang lain duduk tenang menikmati pertunjukan jaipong dari Kerawang, Jawa Barat, ini. Di antara mereka ada Badrun, seorang penjual daging, pelanggan tetap pertunjukan itu. Saban malam dia nongkrong di taman itu. "Kalau tidak menonton jaipongan ini, saya tak bisa tidur," katanya sambil duduk di bawah pohon yang tak rindang.
Para pemain jaipongan ini berlatih rata-rata seminggu sekali. Umumnya sudah cukup matang berjaipong lewat latihan tertentu di kampungnya masing masing. Rata-rata mereka dari Kerawang dan Subang. Grup ini berdiri setelah Lebaran tahun 1996 dengan enam penari. Kemudian beberapa penari dari daerah didatangkan pemimpin kelompok, Atun Jaelani, melengkapi grup ini.
Para penari dan sinden itu, Erna, Nung, Renah, Ranahgel, Wati, Umi, Rika, Jujun, dan lainnya mentas tiap hari kecuali malam Jumat. Erna adalah primadona kelompok ini dan biasanya ditampilkan di acara puncak, pada akhir pertunjukan. Sesekali mereka mengisi acara kondangan, khitanan, dan sejenisnya. Bila diundang mengisi acara tersbut, bisanya mereka tidak mentas.
Dalam sehari mereka bisa mengantongi Rp 300.000. Meskipun krisis monter terjadi, toh penghasilan tak begitu jauh menurun. Meski begitu Sarma masih mengeluh. "Bisa manjang krisisnya, mau apa lagi," katanya. Karena harga-harga terus naik sementara penghasil tak kunjung merayap naik juga.

EROTIS Apa yang memikat dari kelompok ini? Pertama, meski di kawasan yang terbilang rawan di Jakarta, belum pernah ada kerusuhan serius yang terjadi selama pertunjukan. Padahal sebelum adanya kelompok ini, dulu pernah ada kelompok penyanyi dangdut yang mencoba manggung. Sayang, baru dua malam digelar sudah terjadi kegaduhan. Dengan amannya pertunjukan berlansung, penonton pun nyaman menikmatinya.
Selain itu, harus diakui daya pikat utama adalah aspek erotis yang ditawarkan. Erotisme jaipong merupakan sejenis hiburan yang voyoeuristic (kenikmatan). Hiburan ini menjadi kenikmatan seksual tidak langsung yang dibedakan dari pelacuran pada umumnya.
Erotisme jaipongan muncul pada tarian-tariannya. Para penari berkebaya ketat, berkorset, berstoking, dan bercelana busa bergerak dalam lenggang lenggok yang mudah diasosiasikan dengan hal-hal seksual. Gerak dada, perut, dan pinggul mereka sangat terlatih. Sementara tangan menjentik dan berputar pada gerak yang bukan sembarangan.
Pada ketukan-ketukan tinggi dan rapat, gerak pun bertambah cepat dan bersemangat. Kadang mereka menari berpasangan dan saling memunggungi. Bahkan terkadang meloncat dan jatuh tiba-tiba. Sebuah ritme yang mengalir memuncak dan mematah tiba-tiba seiring respon para pemusiknya.
Musiknya sendiri tidaklah lengkap. Ada sebuah kendang utama yang memimpin ketukan, empat pasang kendang kecil yang dipukul dengan pemukul dol kecil, sebuah gong, sebuah simbal, sebuah lempeng besi, dan seperangkat kecil gamelan. Malam itu gendang utama dimainkan Jaja, pemain yang bisa bermain berjam-jam dan pernah memukul beduk di Festival Istiqlal.
Mengacu pada uraian Umar Khayam tentang seni pertunjukan, maka jaipongan ini tergolong kesenian kitsch. Kesenian massa yang berakar pada seni tradisi untuk konsumsi hiburan semata. Meski sama-sama berakar dari seni tradisi, kesenian kitsch dibedakan dari seni kontemporer yang mengejar kepentingan estetis.
Dilihat dari bagaimana kesenian ini dipentaskan, akan tertangkap kaburnya batas seni rakyat. Tembang yang diminta penonton beragam. Tak semuanya tembang-tembang Sunda, ada juga tembang Jawa, bahkan lagu dangdut. Para sinden pun dnegan senang hati menyanyikannya, dan pemusik pun mengiringinya tanpa gagap. Bagi mereka tak ada yang aneh. Musik ya musik. Maka terobosan-terobosan para pemusik kontemporer yang memakai alat musik gamelan atau tradisional untuk memainkan musik pop atau sebaliknya jadi barang yang biasa.
Selain panggung di taman itu, ada pula sebuah panggung kecil di bawah jembatan dengan penonton yang lebih sedikit. Keduanya membangun sebuah ruang publik kesenian rakyat yang berkembang dengan sendirinya. Sampai kapan, tampaknya sejauh tak ada penggusuran.

0 komentar:

  •   © BONSER DOEA Dibuat Oleh Maulana/505/93 2011